Selasa, 22 Maret 2011

Rekayasa Sosial bagi Gerakan Mahasiswa

Catatan  Saat Menjadi Mensospol Bem Rema UPI 2009

Hidup Mahasiswa!!! Hidup Rakyat Indonesia!!! ialah teriakan yang sering didengungkan oleh para aktifis mahasiswa. Sampai sekarang, dalam keadaan yang menunjukan “mahasiswa telah jauh dari rakyat”. Meskipun mahasiswa selalu mengatasnamakan rakyat, wacana yang diusung ternyata tanpa penguasaan dari mahasiswa sendiri. Ada apa dengan gerakan mahasiswa? Terutama pasca reformasi yang dinilai mati suri karena berjalan ditempat. Gerakan mahasiswa seperti berada dipersimpangan jalan karena tidak bisa menemukan arah gerakannya. Bergerak tapi tanpa di bangun atas sebuah kesadaran. Dengan hanya bisa berteriak seperti “menolak” kebijakan pemerintah tapi tanpa mampu menyampaikan gagasan cemerlang dan ilmiah sebagai alternatif solusi. 

Oleh karena itu, pergerakan mahasiswa hari ini lebih dituntut untuk mampu menunjukan kadar intelektualnya dengan mengajukan alternatif-alternatif solusi atas berbagai permasalahan bangsa. Apalagi sekarang menghadapi zaman yang semakin berubah. Dimana keran demokrasi sudah dibuka di era reformasi, tuntutan global ternyata lebih cepat daripada tuntutan mahasiswa. Dampak terdekat dengan kita  misalnya, bahwa untuk menghadapi kampus dan mahasiswa yang semakin komersil saja kita sulit beradaptasi apalagi mengatasinya. Sudah menjadi rahasia umum sistem pendidikan sekarang  didesain sedemikian rupa sehingga kebanyakan mahasiswa apolitis. Maka dari itu kita tidak bisa menghadapinya dan menyelesaikannya dengan cara-cara konvensional serta pendekatan, yang terkadang juga tidak konkrit untuk masalah yang memang riil.

Memang benar antara harapan dan kenyataan sekarang terlalu jauh jaraknya. Jangankan  memberi solusi yang riil untuk rakyat, gerakan mahasiswa sendiri masih dilanda bencana yang termasuk problem sosial. Dimana kebanyakan mahasiswa sekarang apatis. Tidak 100 atau 900 mahasiswa namun beribu-ribu bahkan puluhan ribu mahasiswa tiap kampus dibuat apatis dengan menghilangkan konsekuensi identitasnya terutama aspek organisasional dan sosial politik. Mahasiswa disetting menjadi manusia invidulistis dengan hanya berpikir mendapatkan IPK besar dan cepat lulus. Dimensi sosial seperti aktif dalam organisasi dianggap hanya memperlama usia kuliah dan mengganggu nilai IPK. Maka dari itu, disamping kita masuk dalam kerangka memberi solusi yang riil untuk rakyat. Kita juga harus bisa merasionalisasikan pada mahasiswa umumnya mengenai situasi dan kondisi yang harus mereka hadapi.

Perlu dipahami wacana NKK/BKK Jilid 2 (baca: NKK/BKK ) semakin terasa gejalanya. Secara subtansi ruang politik dijauhkan kembali dari mahasiswa. Salah satunya pemerintah melalui kebijakan komersialisasi pendidikan, menggiring mahasiswa untuk menjauhi dan bahkan menghilangkan dimensi sosial dirinya. Kampus seperti pasar saja, dimana ada penjual dan pembeli, pendidikan hanya untuk pembeli yang mampu membayar harga yang ditetapkan oleh penjual. Akibatnya pola pikir dari mahasiswapun berubah. Jauh dari istilah memikirkan rakyat. Kampus hanya menjadi menara gading yang hanya mencetak manusia untuk menjadi tenaga kerja siap pakai dengan orientasi utama ialah materi, tanpa dimensi sosial apalagi melakukan perbaikan sosial. 

Keadaan yang lebih parah, sebentar lagi kebijakan pendidikan dengan otonomi kampus akan menyandang status BHP (baca : BHP). Dampaknya sudah bisa dipastikan pada semakin mahal biaya kuliah, semakin padatnya beban kuliah dan peraturan kampus yang menekan aktivitas mahasiswa. Sehingga mahasiswa hanya akan menyentuh aspek akademis saja. Kita bisa mengevalusi BHMN (baca : BHMN) sebagai ‘pengantar BHP’  misalnya di kampus UPI. Mulai tahun 2006 dengan dibukanya jalur khusus dan jalur terbatas lalu kemudian tahun 2007 diganti kemasannya menjadi UM, biaya kuliah di UPI semakin mahal saja. Setiap tahun presentase jalur UM ditingkatkan, namun pertanyaan dasar apakah meningkatkan kualitas mahasiswa di UPI misalnya dalam hal pendidikan? Seakaan-akan enggan dijawab dan terlihat sekali kebijakan ini hanya menyentuh aspek materi finansial saja. Mengenai masalah padatnya beban kuliah, bisa kita ambil contoh, di UPI sendiri kita tanyakan pada mahasiswa baru elektro (Angkatan 2009) jalur PMDK sudah disuguhi 24 SKS (dirubah jadi 20 SKS). Artinya mahasiswa benar-benar diarahkan untuk sibuk di aspek akademis dengan tidak memperhatikan aspek organisasional dan sosial politik. Adapun mengenai peraturan kampus, jelas-jelas membatasi ruang gerak mahasiswa. Kebijakan tidak diperbolehkannya aktivitas jam malam misalnya—untuk organisasi kemahasiswaan—merupakan hal yang sulit dibantah sebenarnya oleh si pembuat kebijakan. Demikian kebijakan-kebijakan yang membuat mahasiswa menjadi apatis dan menjadi salah satu faktor melempemnya pergerakan mahasiswa selain faktor fragmentasi (perpecahan) karena perbedaan ideologi dan munculnya kelompok mahasiswa oportunis, yang menggadaikan idealismenya  kepada suatu kepentingan misalnya birokrasi kampus, demi kepentinganya atau golongannya.

NKK/BKK Jilid 2 juga ditunjukan oleh pemerintahan baru (SBY-Boediono). Legitimasi suara rakyat yang mengantarkan pada keabsolutan rezim sekarang ternyata tetap memperhitungkan kekuatan oposisi permanen yakni gerakan mahasiswa. Dalam pelantikannya SBY melakukan test cash dengan menahan mahasiswa Bandung (UPI dan UNPAD) dan mahasiswa Bogor (IPB) untuk tidak pergi ke Jakarta. Tujuannya ialah untuk mengukur kondisi gerakan mahasiswa. SBY mencoba memberanikan diri dengan menunjukan cakar otoriterianismenya. Rezim baru ini sudah tidak mau dikritik dan mulai refresif terhadap demonstran dengan membuat aturan-aturan yang memperlemah kekuatan oposan. Bahkan SBY berani memenjarakan kebebasan pendapat dan membatasi informasi dengan adanya RUU Rahasia Negara. Hal ini akan menghambat publik mengakses informasi-informasi penting. Bahkan bisa jadi menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika NKK/BKK yang diberlakukan pada tahun 1978 membuat gerakan mahasiswa menjadi lebih kritis dan pada akhirnya bisa menumbangkan rezim militer-otoriter pada tahun 1998. Seharusnya dengan adanya indikasi NKK/BKK Jilid 2 juga bisa membuat mahasiswa sekarang lebih kritis.

Dengan kondisi permasalahan diatas, agenda perubahan sosial harus tetap dilakukan oleh gerakan mahasiswa  sekarang dengan menghidupkan kembali “gerakan mahasiswa yang mati”. Menurut Hafiz  seorang mahasiswa manejemen pendidikan, sebagaimana dikutip dalam bukunya Jalaludin Rahmat yakni Rekayasa Sosial : Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar sebelum kita mengatasi problem sosial dalam rangka rekayasa sosial kita memerlukan planned social changed (perubahan sosial yang terencana). Seperti halnya beberapa tawaran solusi yakni : pertama, merubah pola pikir mahasiswa dengan menghadirkan kondisi-kondisi riil bangsa serta merekayasa lingkungan yang mendukung terciptanya perubahan pemikiran, tindakan serta pergerakan. Kedua, dalam sel-sel kecil, setiap mahasiswa diberikan wadah pertemuan rutin, guna membahas serta mengaktualisasikan apa yang yang telah menjadi bahasan dalam wujud kerja nyata untuk menjawab permasalahan bangsa dan negara. Ketiga, mendorong setiap kebijakan publik yang dihasilkan tidak memberikan celah masuknya paham yang dapat merusak karakter mahasiswa seperti setting-an acara yang membuat mahasiswa menjadi hedonisme (selalu ingin bersenang-senang). Keempat, meningkatkan kompetisi pribadi dan kelompok dalam usaha memenangkan persaingan soft power dengan dilandasi dengan pengorbanan dan persatuan. Jangan sampai soft power tergantikan dengan pengaruh bangsa lain karena merebaknya pemikiran-pemikiran, ideologi dan isme-isme yang mengikis karakter mahasiswa sebagai pemuda Indonesia. Keempat hal demikian bisa dibangun atas trias tradition mahasiswa yang menjadi keharusan yakni membaca, menulis dan diskusi sebagai gerakan intelektual mahasiswa beserta aksinya. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar