Selasa, 22 Maret 2011

Mahasiswa Akademis atau Aktivis ?


Pasang surut eksistensi gerakan mahasiswa merupakan suatu kewajaran. Namun tidak wajar ketika mahasiswa tidak mampu membaca keadaan zaman yang menjadikan mereka sulit untuk bergerak. Mahasiswa terkondisikan oleh para perekayasa yang senantiasa membunuhnya untuk tidak kritis. Tragis ketika permasalahan berkembang baik di tatanan kampus, daerah, negara, maupun dunia internasional namun mahasiswa tidak memberikan konstribusi dalam upaya perbaikan. Kerja-kerja dari para aktivis mahasiswa yang biasa saja atau hanya sekedarnya saja, tidak akan mampu menjawab tantangan yang ada. Apalagi tantangan yang semakin besar, gerakan mahasiswa yang seadanya hanya menjadikan negara ini semakin hancur.

Oleh karenanya mahasiswa hari ini harus selesai pada perdebatan yang tidak esensi. Tidak penting mahasiswa itu disebut seorang akademis yang senantiasa rajin kuliah atau aktivis yang senantiasa rajin berorganisasi. Namun tidak mampu memberi peran signifikan untuk perbaikan bangsa. Seorang akademis yang hanya duduk manis diruang kelas itu percuma jadi mahasiswa. Pun aktivis yang berkoar-koar tanpa subtansi hanya menunjukan eksistensi diri itu tidak berguna. Idealnya mahasiswa sebagai insan akademis itu berjiwa aktivis yang waktunya habis oleh kerja-kerja sosial. Jangan terjebak pada sikap individualistik karena itu benih dari watak egois bahkan materialistik. Sebenarnya harus dihapus  dikotomi istilah mahasiswa akademis dan mahasiswa aktivis. Oleh karena bisa inklud, tanggung jawab intelektual sekiranya bisa menyalakan nurani untuk bertindak secara sosial. Saya sangat miris ketika ada beberapa mahasiswa yang aktif di organisasi mahasiswa (ormawa) tidak maksimal karena alasan kuliah. Pun mereka yang mengaku aktivis banget menunda-nunda untuk lulus kuliah. Sehingga ada kesan menjadi aktivis itu hanya buang-buang waktu. Dan menjadi pembenaran aktivis mahasiswa melakukan aktivitas organisasi hanya sebatas waktu-waktu sisa kuliah dan urusan pribadi. Semoga kita tersadarkan akan hal ini agar gerakan dari bangku kuliah ke negara, kadar intelektual menjawab permasalahan bangsa dan tidak ada lagi pola pikir mahasiswa hanya mengejar IPK, cepat lulus tapi kosong kapasitas dan tidak pandai berkomunikasi secara sosial. Pun tidak ada para aktivis yang meninggalkan lama kuliah sehingga ia lama lulus. Oleh karena pada hakikatnya orang sibuk itu mampu menyelesaikan amanahnya dimanapun.

Mari kita berusaha menjadi mahasiswa akademis yang berjiwa aktivis. Sehingga ruang kampus menjadi luas ke dunia bukan sempit diruang kelas. Saya pikir mahasiswa terlalu cerdas hanya untuk mendengar perkataan dosen. Mahasiswa adalah calon pemimpin negeri ini, dimanapun ia berada nantinya. Maka dari itu, mereka harus kritis dan dinamis dalam bergerak. Mereka tahu kapan waktunya kuliah, kajian, audiensi, demonstrasi dan aktivitas lainya. Jangan sampai ada pertanyaan kenapa mahasiswa harus demo atau kenapa mahasiswa tidak mau demo? Sehingga mereka harus menjawab pertanyaan dasar, apa itu demo? Gawat juga kalau mahasiswa memiliki paradigma seperti ini, kesannya mereka hasil dari pendidikan ‘sekuler’. Masukan dari saya untuk mahasiswa yang tidak mau (anti) demo, bisa melakukan aksinya dengan cara lain. Mereka bisa menulis dengan memanfaatkan media atau apa saja yang bisa menunjukan tanggung jawab intelektualnya menjawab permasalahan sosial. Begitupun dengan mereka yang gemar berdemo harus tetap bisa menunjukan kemampuan ketika berdiskusi diruang kuliah. Oleh karena bisa jadi fitnah kalau aktivis tidak pandai dikelas.
Harapan saya adalah sekiranya mahasiswa dewasa dan bertanggung jawab atas amanahnya. Mahasiswa memiliki amanah pribadi untuk mengembangkan kapasitas. Ia juga memiliki amanah orang tua untuk tidak sebatas pintar secara pribadi namun bisa memberi amal atas ilmunya. Sekaligus juga ia bertanggung jawab atas bangsa dan negaranya. Kita mesti ingat pendidikan yang kita peroleh tidak terlepas dari subsidi rakyat. Kalau saja ketika jadi mahasiswa tidak bisa berbuat dengan mengobarkan waktu untuk rakyat !! maka akan sulit kedepannya karena mereka tidak terbiasa. Saya sepakat dengan akselerasi (percepatan) pendidikan ketika mahasiswa tidak meninggalkan perannya secara organisasional dan sosial-politik. Sangat sepakat mahasiswa segera lulus karena memang termasuk beban negara. Namun mereka harus keluar matang secara intelektual dan spiritualnya di kampus. Negara ini tidak butuh manusia pintar tapi manusia soleh yang pintar. Kita harus mencegah mahasiswa yang hanya memanfaatkan kelulusan untuk kerja atau calon ‘guru’ (konteks UPI) yang berpikir gajinya untuk hidup, karena pola pikir seperti ini terlalu ekonomis bahkan menjadikan mereka bermental pekerja bukan pemimpin. Bangsa ini akan sulit untuk besar, kalau saja pola pikir manusianya tidak jujur atas intelektualnya dan spiritualnya. Seorang pengambil kebijakan yang meluluskan mahasiswa yang belum pantas lulus sama dengan menghancurkan negara ini. Saya sangat geli ketika mahasiswa harus segera menyelesaikan skripsi tapi skripsi mereka dihina karena kurang berkualitas dan mereka tetap lulus ??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar